Saturday, October 22, 2011

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW

 Assalamualaikum...
Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah
bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya -
tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan
para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab
badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku
akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan
itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab
badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan
diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia
tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat
menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan
seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal,
bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad.
Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali.
Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan
padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab,
"Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala
keindahan dunia ini...." Ali menjawab, "Engkau tak
sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah
telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan
hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak
Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki
budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi
yang sering disapa "Khumairah" oleh Nabi ini hanya
menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakanakan
Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur'an berjalan. Badui
ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus
melihat ke seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk
membaca dan menyimak QS Al-Mu'minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan
tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka
diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air
mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan
junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu
menceritakan satu fragmen yang paling indah dan
berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir
ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana
perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua
perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru
bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang
isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan
kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku
berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'"
Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput
episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat
dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati
Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati
suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu
rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya
tidur di >depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau
tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang
sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu
sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku
tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita
masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri
kita? Nabi mengingatkan, "berhati-hatilah kamu
terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di
hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka
dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah
ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis
Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk
mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang
mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul
memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat
sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk.
Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi. Senangkah kita kalau
orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan
memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat
kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak
Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan
tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil
sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya.
Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan
kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling
utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang
menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika
Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar,
bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat
lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi
memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya,
Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena
itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman
dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai
Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi
banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali.
"Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang
siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang
rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu
kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam
untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang
sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita
masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti
sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang
mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi
Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur'an Allah memanggil
para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria,
dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah
menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja
sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka
berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani
Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk
pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa,
Abu Bakar berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar,
"Tidak, angkatlah Al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata ke Umar, "Kamu hanya
ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud
membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin
keras. Waktu itu turunlah
ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah
kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan
dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap
sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (alhujurat
1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya
Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali
seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada
Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar
banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi
didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah.
Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang
membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki.
Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan
kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan
engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu,
akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan,
biar kami jadikan engkau penguasa kami"
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini.
Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong
pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya,
"Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." kata
Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai
pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi
sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita
tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan
pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal
akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Inilah akhlak Nabi dalam majlis ilmu. Yang menakjubkan
adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah,
si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi
dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita
bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita
sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara
kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya
Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada
utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi
akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah
setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu
kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di
belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya,
anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus
padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan
perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab
Nabi?
"Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah
terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu."
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah
suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan
bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk
berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan
meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir.
Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan
salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi
telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi
berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi
Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang
mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut
balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang
keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!"
Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat
yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika
engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang,
kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak
tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin
menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana,
tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu.
Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan"
orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal
mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang
berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta
tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat
yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang
Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu
seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah
perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik
berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi
suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut
Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud
tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan
kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas
semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga
terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat
tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak
merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan
semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain
baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang
amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang
kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati
karena khawatir ada orang yang beliau sakiti.
Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti
menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim

Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia.
Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah
yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan
diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan
dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata,
"Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh
Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada
kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban
kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang
meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah
kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar,
bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena
menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah
bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah
ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?" Untuk
semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya
Rasul!"
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata,
"Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya
Allah saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah
bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian
ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita
mencintai Rasulullah."Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa
kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru
semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami
sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad,
betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya
Nabi kami.
Wassalam...

No comments:

Post a Comment

Daftar Isi